Akhirnya aku menemukan sebuah nama yang tak buruk untuk menamai sebuah mimpi, sebuah doa, semacam harapan; Rara Maharani.
Rara, aku memaknainya sebagai Perawan. Sejuta kalipun ia diperkosa oleh siapa dan atau apapun, nyatanya, dalam impiku ia masih seperawan demikian. Atau seberapa kalipun ia bercinta dengan siapa. Aku gemetar untuk menulis kalimat sejujur ini. Dan sekaligus malu karena merasa mengakuinya dengan terang. Maharani, kata orang yang tak kukenal, ini berarti Permaisuri. Dan iya, di sana atau di manapun denyut nadinya dirasakan oleh siapapun, aku tetap menganggap ia sebagai Permaisuriku. Aku mencurinya dari pemilik doanya. Sekarang, akhirnya aku meresmikan sebuah nama yang tak buruk itu dengan, Rara Maharani. Dan ialah yang menjadi sebuah mimpiku, sebuah doa, yang semacam itu aku anggap sebagai harapan. Selamat malam dan selamat menikmati Abjad Wengiku, Rara Maharani.
Aku tak mau kembali mengingat tentang suatu kejadian, suatu saat, yang aku di sana mulai mencari nama untukmu, Rara. Aku mulai menyebutmu, tak lagi menyebutnya. Aku ingin merasa kau dekati, dan, terimakasih untuk ini. Iya, aku sudah tak berkenan untuk memutar ingatan sampai kembali pada permulaan di mana aku mulai mencari sebuah nama untukmu, Rara. Toh, aku masih percaya tentang tugas pencatat yang disebut Malaikat, yang bahwa ia sudah cukup menjadi pencatat masa yang sudah aku lewati, tentang ini. Sebentar, aku merasa tulisanku ini sangat tidak tertata dengan rapi. Tapi pada kalimat ini, aku ingin merapikannya dengan menuliskan, Malaikat hanya aku percayai adanya tanpa aku bisa mencintainya, dan kamu Rara, sentuhan tanganku pada pipimu bukan hanya sekedar membuatku mempercayai adamu. Ini juga membuatku memiliki rasa yang kepada Malaikat, rasa itu tak kumiliki. Rapi?
Aku boleh bertanya padamu, Suara? Lihat, aku mencoba berinteraksi dengan suara. Abaikan bagian ini jika tak menarik untuk dibaca. Suara, sekali lagi bolehkah aku bertanya kepadamu? Kenapa pada detik semacam ini, kamu bekerja keras sampai akhirnya kamu harus keluar dari bibirku dan kudengar sebagai panggilan nama yang baru saja aku temukan? Rara Maharani, demikian suara yang aku tanyai munculnya aku tumpahkan di sini. Maka baiklah, baik, aku akan semakin menjadi-jadi untuk mengembalikan apa yang orang-orang bicarakan tentangmu ke sebuah doa; semoga aku tak menerima aminmu yang selain ini, Rara; Aku sedang menikmati rindu yang baru tadi pagi aku menghilangkannya dari mimpi dan pada Wengiku kini ia malah kembali dengan menjelma menjadi sebuah nama. Semoga, aku masih baik-baik saja dalam menjalani gilaku yang tak lagi setengah ini melainkan tiga perempat. Semoga nama untuk impiku ini, kau terima dengan terserah.
On the ways; Dep.
Untuk sebuah Engkau; Rara Maharani.
Rara, aku memaknainya sebagai Perawan. Sejuta kalipun ia diperkosa oleh siapa dan atau apapun, nyatanya, dalam impiku ia masih seperawan demikian. Atau seberapa kalipun ia bercinta dengan siapa. Aku gemetar untuk menulis kalimat sejujur ini. Dan sekaligus malu karena merasa mengakuinya dengan terang. Maharani, kata orang yang tak kukenal, ini berarti Permaisuri. Dan iya, di sana atau di manapun denyut nadinya dirasakan oleh siapapun, aku tetap menganggap ia sebagai Permaisuriku. Aku mencurinya dari pemilik doanya. Sekarang, akhirnya aku meresmikan sebuah nama yang tak buruk itu dengan, Rara Maharani. Dan ialah yang menjadi sebuah mimpiku, sebuah doa, yang semacam itu aku anggap sebagai harapan. Selamat malam dan selamat menikmati Abjad Wengiku, Rara Maharani.
Aku tak mau kembali mengingat tentang suatu kejadian, suatu saat, yang aku di sana mulai mencari nama untukmu, Rara. Aku mulai menyebutmu, tak lagi menyebutnya. Aku ingin merasa kau dekati, dan, terimakasih untuk ini. Iya, aku sudah tak berkenan untuk memutar ingatan sampai kembali pada permulaan di mana aku mulai mencari sebuah nama untukmu, Rara. Toh, aku masih percaya tentang tugas pencatat yang disebut Malaikat, yang bahwa ia sudah cukup menjadi pencatat masa yang sudah aku lewati, tentang ini. Sebentar, aku merasa tulisanku ini sangat tidak tertata dengan rapi. Tapi pada kalimat ini, aku ingin merapikannya dengan menuliskan, Malaikat hanya aku percayai adanya tanpa aku bisa mencintainya, dan kamu Rara, sentuhan tanganku pada pipimu bukan hanya sekedar membuatku mempercayai adamu. Ini juga membuatku memiliki rasa yang kepada Malaikat, rasa itu tak kumiliki. Rapi?
Aku boleh bertanya padamu, Suara? Lihat, aku mencoba berinteraksi dengan suara. Abaikan bagian ini jika tak menarik untuk dibaca. Suara, sekali lagi bolehkah aku bertanya kepadamu? Kenapa pada detik semacam ini, kamu bekerja keras sampai akhirnya kamu harus keluar dari bibirku dan kudengar sebagai panggilan nama yang baru saja aku temukan? Rara Maharani, demikian suara yang aku tanyai munculnya aku tumpahkan di sini. Maka baiklah, baik, aku akan semakin menjadi-jadi untuk mengembalikan apa yang orang-orang bicarakan tentangmu ke sebuah doa; semoga aku tak menerima aminmu yang selain ini, Rara; Aku sedang menikmati rindu yang baru tadi pagi aku menghilangkannya dari mimpi dan pada Wengiku kini ia malah kembali dengan menjelma menjadi sebuah nama. Semoga, aku masih baik-baik saja dalam menjalani gilaku yang tak lagi setengah ini melainkan tiga perempat. Semoga nama untuk impiku ini, kau terima dengan terserah.
On the ways; Dep.
Untuk sebuah Engkau; Rara Maharani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar