Jumat, 11 April 2014

ABJAD WENGI 3

Aku menatapmu melalui gelap. Menikmati saja setiap gelap yang kulalui sebelum akhirnya mataku menujumu. Tidak dengan membawa apapun untuk apa yang aku tatap kecuali satu, dua, atau tiga kata yang kuanggap sebagai doa. Mana mungkin kamu akan dengan mudah menerima tatapanku melalui gelap ini dengan hanya menghadiahi doa? Mungkin. Kenapa aku harus bertanya tentang mana mungkin? Itu urusanmu sajalah, akhirnya mataku yang mulai bisa menikmati indahmu membiarkanku untuk mengabaikan tanya bodohku semacam itu. Melalui gelap, mataku tetap mengindahkanmu dengan setidaknya saraf dalam otakku bekerja sehingga kembali merasakan pahitmu.

Aku menatapmu. Melalui gelap. Membawa sebungkus doa. Lalu mengindahkanmu, agar aku mau lebih berlama-lama menikmatimu, menikmati pahitmu yang kuciptakan sendiri. Iya, aku dengan sangat besar kepala menyomongkan diri mampu menciptakan pahitmu. Tanpa bantuan siapapun, apapun. Tuhan? Ah kenapa terhadapmu yang imannya melebihiku aku masih perlu menjelaskan bahwa Tuhanku selalu mengetahui apa yang aku lakukan? Dan ah, lagi-lagi aku menterserahkanku untuk menciptakanmu bertanya tentang mengapa yang sangat tak perlu diciptakan. Dan, inilah. Inilah aku yang masih dalam kepala besar menyombongkan diri, mengegoiskan diri semauku, menciptakan kamu semauku, lalu menikmati ciptaan pahitku ini melalui gelap.

Aku menatapmu. Beberapa menit, atau detik-detik sebelum akhirnya mataku menatapmu melalui gelap, aku didorong oleh kekuatan doa yang tiba-tiba, bukan mengada-ada tapi ini memang sebuah tiba-tiba. Tiba-tiba, aku merindukanmu. Hasilnya, terciptalah kamu menjadi indah di mataku, sekaligus pahit. Aku menyukai keduanya. Ini aku terjemahkan dari tak beranjaknya mataku terus memandangmu, menatapmu, dan membiarkan berkali-kali cahaya menyilaukan mataku yang sedetik-dua detik memudarkan gelapmu yang telah terlaluiku. Membiarkan pula semakin pahitmu menjadi benar-benar aku rasakan.

Aku menatapmu melalui gelap. Dan gelap itu akhirnya menutup mataku untuk selanjutnya mataku kubuka lagi. Apa yang aku lihat dalam senyata-nyatanya dunia tempatku hidup? Kamu mendatangiku hanya untuk mengucapkan doa; aku telah membalas rindumu dengan doa semoga, semoga Tuhan menjadikan angin yang membelai malamku, bintang-bintang yang mengindahkan langit malamku, separuh bulan di antara bebintangan itu, dan air mata tangisku saat mendoakanmu, semoga, semoga Tuhan menjadikan mereka semua sebagai pengamin atas doaku untukmu. Dan kemudian aku dan kamu akan semakin bahagia menikmati rindu.
Aku menatapmu. Mendekatkan tubuhku  sedekat mungkin. Lalu hujan turun dengan sederas-derasnya saat kurasakan tubuhku telah memelukmu.

“..kau adalah awan, aku adalah lautan. Hujan adalah rindu yang kita ciptakan, lalu ialah yang kemudian mempertemukan kau dan aku…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tags

Abjad (4) Abstrak (1) Rinowengi (5)