Jumat, 11 April 2014

ABJAD WENGI 2

Aku mengingkari janjiku tentang cinta yang Tuhan anugerahkan kepadaku, yang pernah aku menyampaikannya padamu. Aku mengingkari, pada janji yang telah ku ucapkan, akhirnya aku meninggalkanmu, meninggalkan kamu sebagai orang yang aku cintai, meninggalkanmu, pergi darimu, dan pergi untuk menggapai cinta lain. Aku mengingkariku, aku beringkar karena tak sanggup akhirnya memahami bahwa kamu, bahwa kamu akhirnya tak meenerimaku sebagai pencintamu. Aku memaafkanmu dan sebelumnya menyalahkanmu atas itu. Aku memaafkan cinta yang dianugerahkan Tuhan di hatimu bukanlah untuk menyatu, bersatu menerima cintaku. Inilah dunia, Sayang. Aku akhirnya melepaskanmu dan membiarkanmu pergi serta membiarkan kakiku melangkah pergi; kita saling menjauh karena cinta. Kita menjauh karena kita sudah sangat yakin bahwa Tuhan tak mengiyakan kemauanku tentang aku dan kamu yang menjadi bersama. Tak apa. Inilah dunia, Sayang. Segala rahasia tak selalu kita temukan, meski cinta telah Tuhan anugerahkan. Inilah aku, Sayang. Yang masih dengan bangga memanggilmu “Sayang”, setidaknya dalam tulisan ini.

Hujan membawa anganku pada suatu hari esok. Suatu hari esok yang telah terjadi pada hari yang telah lama berlalu. Itulah hari yang aku ingat. Hari di saat aku dan kamu dengan kepercayaan diri kita meyakini bahwa kita akan melewati hari sekarang dengan kebersamaan, di bukit yang jika mata kita terbuka akan kita lihat sejuta bintang. Di sini, pada hari ini, dulu kita membayangkan kita yang akan berkeringat menggapai puncak cinta di puncak bumi. Bercinta selamanya, bertasbih dengan ucapan lain yang tak lazim terlafadkan. Aku dan kamu menunggu hari itu, hari ini. Dan pernah bersama berdoa dalam waktu yang sama dari tempat yang tak sama tentang ini. Tuhan tak mengabulkan. Tuhan mengabulkan doa lain, doa kita yang lain, doa kita yang kita sama-sama melupakan karena sakitnya hati atas ini; doa tentang ketulusan.

Hujan berhenti sampai aku menulis kalimat ini. Malamku menenang dengan segala gemuruh di hatiku oleh ingatanku tentang indahmu yang tak mampu ku wujudkan dalam kehidupan nyataku. Aku bersabar. Aku memejamkan mataku, keduanya ku pejamkan untuk mengingat namamu, gagal. Aku telah melupakan namamu, Sayang. Namun keentahan yang kemudian datang adalah ketidakpahamanku mengenai kenapa kamu masih ku rasakan hadirnya di hatiku? Tuhan telah benar menciptakanku, telah benar menciptakan segala sisi burukku, telah benar menciptakan cinta yang aku, aku tak sampai mengucapkannya lagi bahwa aku mencintaimu. Ah, aku lancang sekali masih berani menuliskan ini di dini, dan di saat kamu yang sedang menikmati malam terindahmu bersama cintamu. Aku keterlaluan di sini, masih berani mendoakanmu, berharap kau memiliki malam indah yang sebenarnya. Dan semoga itu nyata, bukan dalam angan seperti doaku.

Hujan kembali menderas, Sayang. Aku hanya bisa memanggilmu “Sayang” karena? Iya, aku telah melupakan namamu. Hujan kembali menderas, semoga cintamu dan cintanya juga semakin menderas malam ini sehingga dalam hari-hari berikut, akan lahir generasimu yang tercipta oleh cinta. Selamat berbahagia dan selamat menikmati bahagia, Sayang. Bercintalah. Aku mencintaimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tags

Abjad (4) Abstrak (1) Rinowengi (5)