Minggu, 13 April 2014

Sebentarlah



Aku tak mengenal Sastra, dan dengan angkuh tak ingin mengenalnya sama sekali, dua, tiga, empat, atau tujuh kali. Aku tak tau apa Sastra kah. Aku, tak terlahir dari rahim seorang perempuan yang dunia mengenalnya sebagai manusia sastra, sastrawan. Juga, pembuah pengisi rahim seorang yang sampai sekarang aku memanggilnya Emak, bukanlah seorang yang disebut sastrawan. Lingkungan di mana aku hidup, di mana aku tinggal, dan di mana aku menetap, atau pun di mana aku singgah sesaat, tiada yang ku anggap sebagai lingkungan sastra. Sebentar, kalimat terakhir tadi bagiku agak janggal tanpa sebab. Aku bahkan baru kali ini menyebut-tuliskan kata lingkungan sastra selama hidupku. Baiklah, sementara abaikan saja istilah itu, dan biarkan satu sebab tiba-tiba muncul untuk meredakan kejanggalanku ini; Aku tak mengenal Sastra. Cukup?

Aku tak menyukai sastra. Orang-orang yang menganggap  diri mereka adalah sastrawan adalah para pembual, pembohong. Mereka mengeluarkan kata-kata yang terlahir dari otaknya, bukan hatinya. Sampai pada ini, seorang yang dianggap dan akhirnya mengaku bahwa dirinya adalah Sastrawan Musliman, tiba-tiba jengkel dan  tak terima kalau aku menyatakan bahwa sastrawan adalah pembual yang kebanyakan perkataannya adalah berasal dari otak dan bukan hatinya. Baik, biarkan Sastrawan Musliman itu pergi saja sebelum akhirnya ia sadar bahwa kalimatku itu juga menjadikannya ingin menulis sebuah cerita tentang seorang pemuda yang tak mampu berhasil di bidang apapun sehingga membuatnya gila dan mengeluarkan kata-kata semaunya. Oke, sudah cukupkah, Pak Sastrawan Musliman? Hmmm.. Kalian tanyai saja dia kenapa aku menulis penyebutannya dengan Sastrawan Musliman dan bukannya Muslim saja, Muslimun, Muslimin, atau Muslimat. Semoga dia sedang punya banyak rokok sehingga ketika menjawab tanya kalian dia sekaligus menawari kalian rokok. You’re girl? Well.. come here and I’ll fuck you all night!

Sampai di sini, bagaimana kalau tulisan ini aku terbitkan dulu di tumblr-ku? Baik, aku memang tak sedang menanyai kalian. Aku menanyai perempuan yang sudah setengah telanjang di sebelahku ini.
See!

“..puisikan hidupmu dengan setetes sperma,

dan sastrawankan dirimu karenanya.”

Jumat, 11 April 2014

ABJAD WENGI 4

Akhirnya aku menemukan sebuah nama yang tak buruk untuk menamai sebuah mimpi, sebuah doa, semacam harapan; Rara Maharani.

Rara, aku memaknainya sebagai Perawan. Sejuta kalipun ia diperkosa oleh siapa dan atau apapun, nyatanya, dalam impiku ia masih seperawan demikian. Atau seberapa kalipun ia bercinta dengan siapa. Aku gemetar untuk menulis kalimat sejujur ini. Dan sekaligus malu karena merasa mengakuinya dengan terang. Maharani, kata orang yang tak kukenal, ini berarti Permaisuri. Dan iya, di sana atau di manapun denyut nadinya dirasakan oleh siapapun, aku tetap menganggap ia sebagai Permaisuriku. Aku mencurinya dari pemilik doanya. Sekarang, akhirnya aku meresmikan sebuah nama yang tak buruk itu dengan, Rara Maharani. Dan ialah yang menjadi sebuah mimpiku, sebuah doa, yang semacam itu aku anggap sebagai harapan. Selamat malam dan selamat menikmati Abjad Wengiku, Rara Maharani.

Aku tak mau kembali mengingat tentang suatu kejadian, suatu saat, yang aku di sana mulai mencari nama untukmu, Rara. Aku mulai menyebutmu, tak lagi menyebutnya. Aku ingin merasa kau dekati, dan, terimakasih untuk ini. Iya, aku sudah tak berkenan untuk memutar ingatan sampai kembali pada permulaan di mana aku mulai mencari sebuah nama untukmu, Rara. Toh, aku masih percaya tentang tugas pencatat yang disebut Malaikat, yang bahwa ia sudah cukup menjadi pencatat masa yang sudah aku lewati, tentang ini. Sebentar, aku merasa tulisanku ini sangat tidak tertata dengan rapi. Tapi pada kalimat ini, aku ingin merapikannya dengan menuliskan, Malaikat hanya aku percayai adanya tanpa aku bisa mencintainya, dan kamu Rara, sentuhan tanganku pada pipimu bukan hanya sekedar membuatku mempercayai adamu. Ini juga membuatku memiliki rasa yang kepada Malaikat, rasa itu tak kumiliki. Rapi?

Aku boleh bertanya padamu, Suara? Lihat, aku mencoba berinteraksi dengan suara. Abaikan bagian ini jika tak menarik untuk dibaca. Suara, sekali lagi bolehkah aku bertanya kepadamu? Kenapa pada detik semacam ini, kamu bekerja keras sampai akhirnya kamu harus keluar dari bibirku dan kudengar sebagai panggilan nama yang baru saja aku temukan? Rara Maharani, demikian suara yang aku tanyai munculnya aku tumpahkan di sini. Maka baiklah, baik, aku akan semakin menjadi-jadi untuk mengembalikan apa yang orang-orang bicarakan tentangmu ke sebuah doa; semoga aku tak menerima aminmu yang selain ini, Rara; Aku sedang menikmati rindu yang baru tadi pagi aku menghilangkannya dari mimpi dan pada Wengiku kini ia malah kembali dengan menjelma menjadi sebuah nama. Semoga, aku masih baik-baik saja dalam menjalani gilaku yang tak lagi setengah ini melainkan tiga perempat. Semoga nama untuk impiku ini, kau terima dengan terserah.

On the ways; Dep.
Untuk sebuah Engkau; Rara Maharani.

ABJAD WENGI 3

Aku menatapmu melalui gelap. Menikmati saja setiap gelap yang kulalui sebelum akhirnya mataku menujumu. Tidak dengan membawa apapun untuk apa yang aku tatap kecuali satu, dua, atau tiga kata yang kuanggap sebagai doa. Mana mungkin kamu akan dengan mudah menerima tatapanku melalui gelap ini dengan hanya menghadiahi doa? Mungkin. Kenapa aku harus bertanya tentang mana mungkin? Itu urusanmu sajalah, akhirnya mataku yang mulai bisa menikmati indahmu membiarkanku untuk mengabaikan tanya bodohku semacam itu. Melalui gelap, mataku tetap mengindahkanmu dengan setidaknya saraf dalam otakku bekerja sehingga kembali merasakan pahitmu.

Aku menatapmu. Melalui gelap. Membawa sebungkus doa. Lalu mengindahkanmu, agar aku mau lebih berlama-lama menikmatimu, menikmati pahitmu yang kuciptakan sendiri. Iya, aku dengan sangat besar kepala menyomongkan diri mampu menciptakan pahitmu. Tanpa bantuan siapapun, apapun. Tuhan? Ah kenapa terhadapmu yang imannya melebihiku aku masih perlu menjelaskan bahwa Tuhanku selalu mengetahui apa yang aku lakukan? Dan ah, lagi-lagi aku menterserahkanku untuk menciptakanmu bertanya tentang mengapa yang sangat tak perlu diciptakan. Dan, inilah. Inilah aku yang masih dalam kepala besar menyombongkan diri, mengegoiskan diri semauku, menciptakan kamu semauku, lalu menikmati ciptaan pahitku ini melalui gelap.

Aku menatapmu. Beberapa menit, atau detik-detik sebelum akhirnya mataku menatapmu melalui gelap, aku didorong oleh kekuatan doa yang tiba-tiba, bukan mengada-ada tapi ini memang sebuah tiba-tiba. Tiba-tiba, aku merindukanmu. Hasilnya, terciptalah kamu menjadi indah di mataku, sekaligus pahit. Aku menyukai keduanya. Ini aku terjemahkan dari tak beranjaknya mataku terus memandangmu, menatapmu, dan membiarkan berkali-kali cahaya menyilaukan mataku yang sedetik-dua detik memudarkan gelapmu yang telah terlaluiku. Membiarkan pula semakin pahitmu menjadi benar-benar aku rasakan.

Aku menatapmu melalui gelap. Dan gelap itu akhirnya menutup mataku untuk selanjutnya mataku kubuka lagi. Apa yang aku lihat dalam senyata-nyatanya dunia tempatku hidup? Kamu mendatangiku hanya untuk mengucapkan doa; aku telah membalas rindumu dengan doa semoga, semoga Tuhan menjadikan angin yang membelai malamku, bintang-bintang yang mengindahkan langit malamku, separuh bulan di antara bebintangan itu, dan air mata tangisku saat mendoakanmu, semoga, semoga Tuhan menjadikan mereka semua sebagai pengamin atas doaku untukmu. Dan kemudian aku dan kamu akan semakin bahagia menikmati rindu.
Aku menatapmu. Mendekatkan tubuhku  sedekat mungkin. Lalu hujan turun dengan sederas-derasnya saat kurasakan tubuhku telah memelukmu.

“..kau adalah awan, aku adalah lautan. Hujan adalah rindu yang kita ciptakan, lalu ialah yang kemudian mempertemukan kau dan aku…”

ABJAD WENGI 2

Aku mengingkari janjiku tentang cinta yang Tuhan anugerahkan kepadaku, yang pernah aku menyampaikannya padamu. Aku mengingkari, pada janji yang telah ku ucapkan, akhirnya aku meninggalkanmu, meninggalkan kamu sebagai orang yang aku cintai, meninggalkanmu, pergi darimu, dan pergi untuk menggapai cinta lain. Aku mengingkariku, aku beringkar karena tak sanggup akhirnya memahami bahwa kamu, bahwa kamu akhirnya tak meenerimaku sebagai pencintamu. Aku memaafkanmu dan sebelumnya menyalahkanmu atas itu. Aku memaafkan cinta yang dianugerahkan Tuhan di hatimu bukanlah untuk menyatu, bersatu menerima cintaku. Inilah dunia, Sayang. Aku akhirnya melepaskanmu dan membiarkanmu pergi serta membiarkan kakiku melangkah pergi; kita saling menjauh karena cinta. Kita menjauh karena kita sudah sangat yakin bahwa Tuhan tak mengiyakan kemauanku tentang aku dan kamu yang menjadi bersama. Tak apa. Inilah dunia, Sayang. Segala rahasia tak selalu kita temukan, meski cinta telah Tuhan anugerahkan. Inilah aku, Sayang. Yang masih dengan bangga memanggilmu “Sayang”, setidaknya dalam tulisan ini.

Hujan membawa anganku pada suatu hari esok. Suatu hari esok yang telah terjadi pada hari yang telah lama berlalu. Itulah hari yang aku ingat. Hari di saat aku dan kamu dengan kepercayaan diri kita meyakini bahwa kita akan melewati hari sekarang dengan kebersamaan, di bukit yang jika mata kita terbuka akan kita lihat sejuta bintang. Di sini, pada hari ini, dulu kita membayangkan kita yang akan berkeringat menggapai puncak cinta di puncak bumi. Bercinta selamanya, bertasbih dengan ucapan lain yang tak lazim terlafadkan. Aku dan kamu menunggu hari itu, hari ini. Dan pernah bersama berdoa dalam waktu yang sama dari tempat yang tak sama tentang ini. Tuhan tak mengabulkan. Tuhan mengabulkan doa lain, doa kita yang lain, doa kita yang kita sama-sama melupakan karena sakitnya hati atas ini; doa tentang ketulusan.

Hujan berhenti sampai aku menulis kalimat ini. Malamku menenang dengan segala gemuruh di hatiku oleh ingatanku tentang indahmu yang tak mampu ku wujudkan dalam kehidupan nyataku. Aku bersabar. Aku memejamkan mataku, keduanya ku pejamkan untuk mengingat namamu, gagal. Aku telah melupakan namamu, Sayang. Namun keentahan yang kemudian datang adalah ketidakpahamanku mengenai kenapa kamu masih ku rasakan hadirnya di hatiku? Tuhan telah benar menciptakanku, telah benar menciptakan segala sisi burukku, telah benar menciptakan cinta yang aku, aku tak sampai mengucapkannya lagi bahwa aku mencintaimu. Ah, aku lancang sekali masih berani menuliskan ini di dini, dan di saat kamu yang sedang menikmati malam terindahmu bersama cintamu. Aku keterlaluan di sini, masih berani mendoakanmu, berharap kau memiliki malam indah yang sebenarnya. Dan semoga itu nyata, bukan dalam angan seperti doaku.

Hujan kembali menderas, Sayang. Aku hanya bisa memanggilmu “Sayang” karena? Iya, aku telah melupakan namamu. Hujan kembali menderas, semoga cintamu dan cintanya juga semakin menderas malam ini sehingga dalam hari-hari berikut, akan lahir generasimu yang tercipta oleh cinta. Selamat berbahagia dan selamat menikmati bahagia, Sayang. Bercintalah. Aku mencintaimu.

ABJAD WENGI

Aku mencintai cita-cita sosialku melebihi aku mencintaimu, Prempuanku. Bahkan jika disuruh memilih antara mengejar dan mewujudkan cita-cita sosialku atau mengejarmu dan mewujudkanmu sebagai pendamping hidupku ke depan; menjadikanmu sebagai tujuan finalku, aku secara tegas dan pasti akan memilih yang pertama.  Sampai di sini, menyerahmu oleh pernyataanku ini, akhirnya menghentikan langkahku untuk meraih cita-cita sosialku. Aku sangat kecewa, Perempuanku. Karena;
1) Cita-cita sosialku terbangun oleh cintamu. Kamu tak pernah menyadarinya, dan aku tak pernah mau memberimu tahu.
2) Kamu adalah perempuan yang aku pilih sebagai pendukung di belakangku dalam berjalan menuju cita-cita sosialku. Menjadi pendoa di atasku. Dan menjadi penyambutku di ujung jalan di sana, di antara cita-cita sosialku.
3) Aku mengawali cintaku padamu lebih dulu sebelum akhirnya aku dengan sangat yakin akan bisa membahagiakanmu dengan memasukkanmu ke dalam cita-cita sosialku. Dan,
4) Kamulah, cita-cita sosialku itu sendiri.

Sekarang, bagaimana bisa aku hidup dan harus mengejar cita-cita sosialku itu jika kamu, Perempuanku, yang sudah kuanggap sebagai benih bagi cita-cita sosialku, sebagai pendukungku, pendoa, dan akan menyambutku di ujung jalan sana, malah justru sudah menyerah karena tak merasa bahwa aku melakukan semua ini dengan cinta? Bagaimana bisa aku melanjutkannya dengan kamu yang tak lagi mempercayaiku sebagai orang yang benar-benar mencitaimu?

Akhirnya, saat di mana ketakutan terbesar keduaku ini benar-benar terjadi; kamu menyerah dan menyerahkanku kepada jalanan, kepada kehidupan, kepada dunia, kepada entahlah. Aku tahu aku tak bisa selain menerimanya. Menerimamu yang akhirnya membuktikan bahwa cinta memang tak selalu bersama? Ah iya. Banyak orang akhirnya menasehatiku tentang hal itu, tentang cinta yang tak harus bersama. Dan aku, aku masih saja mengelak. Cinta harus bersama! Tegasku. Ya, cintanya saja, tidak dengan orangnya, tidak dengan orang yang aku cintai. Di sini, di dalam dunia runtuhku, aku masih memiliki cinta untukmu. Semakin hari, aku semakin membesarkan cinta ini, demi kamu, demi cita-cita sosialku yang bernyawa karena ku bangun dari cintamu.

Tags

Abjad (4) Abstrak (1) Rinowengi (5)